5 Puisi Yang Termaktub Dalam Ebook “Tula” Antologi Penyair Lampung 2023
Ebook ini lahir dari kelas menulis yang diadakan oleh “Lampung Literature” dan “Komunitas Berkat Yakin” yang diinisiasi oleh “Kemdikbud”. Ada banyak penulis yang ikut berpartisipasi, serta dibimbing langsung oleh Mba Inggit Putria Marga dan Bang Ari Pahala Hutabarat. Namun karena tidak mungkin saya mengupload semua tulisannya di sini.
Walhasil saya hanya akan menuliskan lima puisi karya saya sendiri yang termaktub dalam antologi tersebut. Alasan kenapa saya melakukannya, ya untuk dokumentasi pribadi saja. Sebab ebooknya terhapus dari memori hp saya, dan sampai sekarang belum saya peroleh lagi ebooknya.
— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — -
Setelah Kepergian
kemarau merontokan bunga kenanga
dari tangkainya.
pada tiap-tiap suasana -
seakan masih kudengar bisikmu
yang terkulai bersama doa
di beranda itu.
langit kelabu,
angin berbisik dalam desau lembutnya
jejak debu di kaca jendela
mengisahkan perjalanan
dari kota-kota tanpa nama
menuju ke sebuah alamat yang asing
“Pak, benarkah kita punya kampung halaman?”
setelah beribu kisah digambarkan mata kamera,
bagaimana jika hidup
ternyata hanyalah mimpi dewa-dewi, dan
kita yang membikinnya seolah punya arti.
Lampung, 2023
— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — -
Gadis Bertopeng Teletubis
gadis kecil di depan warung bakso,
sedang apa ia?
rambut pirang polesan matahari,
gerak badan; melompat ke kanan,
ke kiri, lalu berputar sesekali.
berpayung langit hitam,
kepul asap mobil
menjamah lekuk tubuh
gadis kecil berbaju tidur.
penonton terbahak; melempar koin,
menaruh lembar uang dua ribu
ke kotak kayu
sebelah speaker mini
yang mendendangkan lagu
balonku ada lima,
gadis kecil menepuk kedua tanganya
berjinjit lalu berputar lagi bak balerina.
Lampung, 2023
— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — -
Kisah Hidup Pak Sukri
Saban malam, ketika
Bahana jangkrik mulai kumandang
Angin bertiup pelan
Kau pun lengah pada satu-satunya
Kursi kayu di depan rumahmu.
Suara melengking
Yang kau sebut hantu itu,
Mulai menggema
Menyesaki tempurung kepala;
“Apa yang bisa diharapkan dari seorang
Penggali makam? Kerja tak menentu
Terlebih penghasilan sulit diandalkan
Bahkan untuk sekedar membeli sekilo ikan.”
Di dalam kamar, putra kecilmu
Berbaring pada kasur kapuk
Seusai mengerjakan soal pilihan ganda
Bu, ia berbisik pada istrimu
“setelah ibu perbaiki
celana sekolahku robek lagi.”
Kau tak langsung mendengarnya dari bocahmu
Tetapi istrimu yang makin tampak kurus
Dan pucat sebab sakit menahunnya
Datang berkeluh padamu.
Mimik wajahnya tampak tegar
Namun kau benar-benar mengerti rasa nyeri
Yang ia tutupi untuk dirinya sendiri.
Jam makin keramat
Kau tatap langit murung tanpa hiasan
Di kepalamu makin nyaring suara hantu itu,
Kau teringat tetanggamu pernah berkata
Bahwa ada harapan di negeri
Yang jauh dari kampungmu ini;
Katanya kau tak perlu modal
Kau hanya perlu sedikit keberanian
Untuk bertaruh nyawa
Mengarungi lautan yang gelap, lalu
Masuk lewat pintu belakang ke negeri itu.
Kau pun bimbang
Hidup makin tua
Di lain hal tak lagi ada
Yang bisa dipertaruhkan selain nyawa,
Kau tatap cangkul yang kau pakai
Menggali makam tadi siang.
Rasanya tak mungkin jika kau harus berdoa
Agar ada salah seorang di desamu yang mati
Supaya kau bisa bekerja esok hari.
Lampung, 2023
— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — -
Layang-Layang
angin dari timur menggoyang
lembaran daun pisang,
di dahan akasia
sepasang burung dara
menatap langit
yang perlahan menguning
dua bocah laki-laki
berbaju timnas indonesia, dan
dua lagi berbaju powerangger
dengan celana pramuka,
duduk di sebelah orang-orang
yang sedang menerbangkan
layang-layang
langit begitu merdu, ikan dan kelelawar
terbang beriringan, ketika angin
berhebus kencang
layangan berbentuk kepala robot
berputar melingkar
kehilangan keseimbangan
tali layang-layang robot terputus, tetapi
sebelum si penerbang sempat berdiri
bocah-bocah tadi sudah jauh berlari
Lampung, 2023
— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — -
Bocah di Lampu Merah
purnama berjalan ke barat,
kamboja putih gugur di kursi
besi yang basah,
lampu semafor berubah merah.
di jalan sorang bocah mengusap ingusnya
berkeliling dari satu mobil ke mobil lain,
tatkala diketuknya pintu kaca mobil itu
menggeleng kepala seorang wanita,
si bocah tau kalau wanita tadi
tak mau membeli koran yang ia tata
di tas selempangnya.
samar-samar ia dengan suara adzan,
pertanda sudah lewat pukul tujuh malam,
hanya laku tiga dari dua puluh
koran yang ia bawa.
si bocah tak mengerti kenapa orang-orang
tak mau membeli koran darinya.
menurutnya koran yang ia jual
cukup menarik
meski ia tak bisa membaca, tapi
ia suka memandangi gambar lucu
yang ada di koran itu ; gambar tikus
berkepala manusia, pinokio berjas jas hitam,
atau seorang berperut bunci berwajah babi.
ketika si bocah hendak menuju mobil
terakhir, lampu berubah hijau,
bunyi kelakson terdengar
seperti orang dungu yang sedang berdebat
di kursi besi yang basah si bocah
terduduk sembari memandangi
satu per satu kendaraan yang menjaui
dari tubuh dinginya.
Lampung, 2023