5 Puisi Yang Termaktub Dalam Ebook “Tula” Antologi Penyair Lampung 2023

Bima Yuswa
4 min readDec 31, 2023

--

Ebook ini lahir dari kelas menulis yang diadakan oleh “Lampung Literature” dan “Komunitas Berkat Yakin” yang diinisiasi oleh “Kemdikbud”. Ada banyak penulis yang ikut berpartisipasi, serta dibimbing langsung oleh Mba Inggit Putria Marga dan Bang Ari Pahala Hutabarat. Namun karena tidak mungkin saya mengupload semua tulisannya di sini.

Walhasil saya hanya akan menuliskan lima puisi karya saya sendiri yang termaktub dalam antologi tersebut. Alasan kenapa saya melakukannya, ya untuk dokumentasi pribadi saja. Sebab ebooknya terhapus dari memori hp saya, dan sampai sekarang belum saya peroleh lagi ebooknya.

— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — -

Setelah Kepergian

kemarau merontokan bunga kenanga

dari tangkainya.

pada tiap-tiap suasana -

seakan masih kudengar bisikmu

yang terkulai bersama doa

di beranda itu.

langit kelabu,

angin berbisik dalam desau lembutnya

jejak debu di kaca jendela

mengisahkan perjalanan

dari kota-kota tanpa nama

menuju ke sebuah alamat yang asing

“Pak, benarkah kita punya kampung halaman?”

setelah beribu kisah digambarkan mata kamera,

bagaimana jika hidup

ternyata hanyalah mimpi dewa-dewi, dan

kita yang membikinnya seolah punya arti.

Lampung, 2023

— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — -

Gadis Bertopeng Teletubis

gadis kecil di depan warung bakso,

sedang apa ia?

rambut pirang polesan matahari,

gerak badan; melompat ke kanan,

ke kiri, lalu berputar sesekali.

berpayung langit hitam,

kepul asap mobil

menjamah lekuk tubuh

gadis kecil berbaju tidur.

penonton terbahak; melempar koin,

menaruh lembar uang dua ribu

ke kotak kayu

sebelah speaker mini

yang mendendangkan lagu

balonku ada lima,

gadis kecil menepuk kedua tanganya

berjinjit lalu berputar lagi bak balerina.

Lampung, 2023

— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — -

Kisah Hidup Pak Sukri

Saban malam, ketika
Bahana jangkrik mulai kumandang
Angin bertiup pelan
Kau pun lengah pada satu-satunya
Kursi kayu di depan rumahmu.

Suara melengking
Yang kau sebut hantu itu,
Mulai menggema
Menyesaki tempurung kepala;
“Apa yang bisa diharapkan dari seorang
Penggali makam? Kerja tak menentu
Terlebih penghasilan sulit diandalkan
Bahkan untuk sekedar membeli sekilo ikan.”

Di dalam kamar, putra kecilmu
Berbaring pada kasur kapuk
Seusai mengerjakan soal pilihan ganda
Bu, ia berbisik pada istrimu
“setelah ibu perbaiki
celana sekolahku robek lagi.”

Kau tak langsung mendengarnya dari bocahmu
Tetapi istrimu yang makin tampak kurus
Dan pucat sebab sakit menahunnya
Datang berkeluh padamu.

Mimik wajahnya tampak tegar
Namun kau benar-benar mengerti rasa nyeri
Yang ia tutupi untuk dirinya sendiri.

Jam makin keramat
Kau tatap langit murung tanpa hiasan
Di kepalamu makin nyaring suara hantu itu,
Kau teringat tetanggamu pernah berkata
Bahwa ada harapan di negeri
Yang jauh dari kampungmu ini;

Katanya kau tak perlu modal
Kau hanya perlu sedikit keberanian
Untuk bertaruh nyawa
Mengarungi lautan yang gelap, lalu
Masuk lewat pintu belakang ke negeri itu.

Kau pun bimbang
Hidup makin tua
Di lain hal tak lagi ada
Yang bisa dipertaruhkan selain nyawa,
Kau tatap cangkul yang kau pakai
Menggali makam tadi siang.
Rasanya tak mungkin jika kau harus berdoa
Agar ada salah seorang di desamu yang mati
Supaya kau bisa bekerja esok hari.

Lampung, 2023

— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — -

Layang-Layang

angin dari timur menggoyang

lembaran daun pisang,

di dahan akasia

sepasang burung dara

menatap langit

yang perlahan menguning

dua bocah laki-laki

berbaju timnas indonesia, dan

dua lagi berbaju powerangger

dengan celana pramuka,

duduk di sebelah orang-orang

yang sedang menerbangkan

layang-layang

langit begitu merdu, ikan dan kelelawar

terbang beriringan, ketika angin

berhebus kencang

layangan berbentuk kepala robot

berputar melingkar

kehilangan keseimbangan

tali layang-layang robot terputus, tetapi

sebelum si penerbang sempat berdiri

bocah-bocah tadi sudah jauh berlari

Lampung, 2023

— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — -

Bocah di Lampu Merah

purnama berjalan ke barat,

kamboja putih gugur di kursi

besi yang basah,

lampu semafor berubah merah.

di jalan sorang bocah mengusap ingusnya

berkeliling dari satu mobil ke mobil lain,

tatkala diketuknya pintu kaca mobil itu

menggeleng kepala seorang wanita,

si bocah tau kalau wanita tadi

tak mau membeli koran yang ia tata

di tas selempangnya.

samar-samar ia dengan suara adzan,

pertanda sudah lewat pukul tujuh malam,

hanya laku tiga dari dua puluh

koran yang ia bawa.

si bocah tak mengerti kenapa orang-orang

tak mau membeli koran darinya.

menurutnya koran yang ia jual

cukup menarik

meski ia tak bisa membaca, tapi

ia suka memandangi gambar lucu

yang ada di koran itu ; gambar tikus

berkepala manusia, pinokio berjas jas hitam,

atau seorang berperut bunci berwajah babi.

ketika si bocah hendak menuju mobil

terakhir, lampu berubah hijau,

bunyi kelakson terdengar

seperti orang dungu yang sedang berdebat

di kursi besi yang basah si bocah

terduduk sembari memandangi

satu per satu kendaraan yang menjaui

dari tubuh dinginya.

Lampung, 2023

--

--

Bima Yuswa
Bima Yuswa

Written by Bima Yuswa

Menyukai filsafat dan sastra, beberapa puisi dan esainya dimuat di koran digital Tempo, Kompas, Omong-Omong. Penulis bisa disapa lewat instagram @hoii_molly.

No responses yet